Renungkanlah wahai Mahasiswa

Saat kuliah dulu, baik dosen pembimbing ataupun dosen wali sering berujar bayak tentang kiat-kiat mengoptimalkan potensi diri.

Semakin banyak waktu yang digunakan untuk senantiasa menggali hal-hal baru demi memperkaya khazanah ilmu pengetahuansemakin baik.

Rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin dipupuk. Alhasil selalu tumbuh semangat untuk mempelajari hal-hal baru. Dari yang tidak biasa sampai sesuatu yang spektakuler.

Tak ada yang salah memang…,

Dengan apa yang ku pelajari, sedikit demi sedikit mempengaruhi caraku bertindak. Atas apa yang kupelajari tentang berbagai hal membuatku mengetahui bagaimana cara bertindak yang sesungguhnya.

Dosenku mengetahui apa yang terjadi padaku………, dosenku berujar bahwa aku harus mampu menunjukkan apa yang aku bisa sehingga orang lain dapat mengetahui tentang “kebisaanku”. Tak ada guna seseorang memiliki sebuah “kebisaan” tapi tidak diketahui orang.

Aku terpacu, semakin aku mampu mengatasi berbagai hal semakin pula aku merasa harus mempublikasikannya. Bukan untuk mendapat sanjung puji, melainkan melatih kemampuan bagaiman aku “menjual” kemampuanku. Menurut dosenku, kemampuan menjual itulah sebagai bekalku kelak mengarungi kehidupan nyata. Ah, aku-pun tak banyak protes. Ku ikuti petunjuk itu dengan level khidmat yang sangat mendalam.

Sesuatu yang terbersit, berubah menjadi keinginan. Keinginan tertuang dalam perbuatan. Perbuatan yang berulang menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan membentuk karakter.

Terbiasa terpublikasi, aku menjadi orang yang sangat dominan. Dalam tim, minimal aku menjadi komandan tim. Kepekaan terhadap rasa kebersamaan dalam bertindak di suatu tim tergantikan oleh rasa percaya diriku terhadap kemampuanku menyelesaikan misi dengan sempurna. Aku sangat terobesesi pada target.

Aku terbentuk menjadi pribadi yang target oriented. Proses sering kupandang hanya sebagai media mencapai target. “Short Cut”, short cut, dan short cut…………

Sampai suatu ketika, aku menyadari bahwa diriku menjadi “idiot useful”. Aku fikir diriku selama ini adalah seorang “genius useful” tapi ternyata sebaliknya.

Selama ini, ternyata, orang-orang dengan kemampuan dibawahku adalah orang-orang yang memanfaatkanku. Aku tak lagi menjadi tuan atas permasalahanku. Aku -lebih- menjadi “alat” bagi mereka yang menggunakanku.

Aku pintar tapi tak cukup cerdas. Mereka yang tak sepintar aku, menggunakan kepintaranku untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Mereka lebih cerdas dalam memanfaatkan kepintaranku.

Mereka yang tak sepintarku lebih mau menghargai proses dan mampu bertindak menggunakan perasaan. Mereka lebih mementingkan keberhasilan tim dibandingkan sibuk mengklaim siapa yang paling berjasa mensukseskan tujuan tim.

Beruntunglah aku berada ditengah orang-orang yang tak cukup pintar, tapi cukup cerdas menggunakan perasaannya…

-Sanjaya Hadikusumo, May 2010-

Tinggalkan komentar